Bilik (40) Asas Ilmu Hadits
Nota 02.06.03 Mengenal Hadits al-Mardud (المردود)
HADITS DHA’IF & PERBAHASANNYA (الضعيف ومسائله) Bhg. 02
Susunan: BroSyarief
Hukum (atau Adab) Menyampaikan atau Menyebutkan Hadits Dha’if
1) Dibolehkan menceritakan hadits Dha’if tanpa menyebutkan ianya Dha’if dengan syarat isinya tidak bersangkutan perihal akidah, halal haram, hukum-hakam syariah, dll.
Dibenarkan ianya dikongsikan pada menyampaikan nasihat-nasihat, galakan, cerita dan yang seumpama itu.
Inilah pendapat jumhur ulama Hadits; Sufyan atsTsauri (161H), Ibnul Mubarak (181H), Ibn Mahdi (198H), dll. Seperti yg dinukilkan oleh Prof Dr Abullaits dari alKifayah fi ‘Ilm alRiwayah, karangan alKhatib.
2) Dan bagi mereka yang ingin berkongsi hadits Dha’if tanpa menyebutkan taraf sanadnya, maka dia mesti menyebutkan hadits tersebut dalam bentuk pasif yang juga disebut sebagai Siyaq atTamridh (صيغ التمريض) seperti ‘Ruwiya’ رُوِيَ (diriwayatkan) atau ’Nuqila’ نُقِلَ (dinukilkan), menunjukkan ke’tidak pasti’an bahawa ianya benar-benar disebutkan Nabi atau tidak kerana mengetahui ianya Dha’if.
Adapun Hadits Sahih dan Hasan mestilah disebutkan dengan penggunaan konotasi yang pasti dan meyakinkan.
3) Apabila seseorang menemui/membaca satu Hadits dengan sanad yang Dha’if, maka perlu berhati-hati dengan menyebut ‘Hadits ini Dha’if berdasarkan jalur sanad ini’, dan jangan menyebut ‘Hadits ini Dha’if’ atau ‘Matan ini Dha’if’ secara mutlak, kerana adanya kemungkinan adanya jalur sanad lain yang Sahih atau Hasan, yang dia belum temui/baca.
Adapun jika yang menyatakan Hadits itu Dha’if adalah ulama hadits pada kategori Hafidz, maka ia memadai untuk kita juga berpegang dan menyebutkan hadits itu Dha’if (dengan menyebutkan nama ulama tersebut sebagai sandaran).
WalLaahu a’lam
Ruj: Ulum Al-Hadits Asiluha wa Mu’asiruha, karangan Prof Dr Abullayts KhairAbaadi.
#BroSyariefShares
